Tuesday, September 20, 2011

Rose and the Pirates of Dimensia (part 6)

“Sudah seberapa jauh kita dari Tuan Nol?” tanya Natasha sambil terengah-engah. “Aku tidak tahu!” jawab Li. “Teruslah berlari!” Kami langsung mengumpulkan tenaga sebanyak-banyaknya untuk berlari. “Kutangkap kalian, anak-anak jelek!” teriak Arnold. “Oh ya?” kataku.
“Ke sini! Cepat! Ada kapal kecil khusus kalian berdua!” kata Li. “Bukannya kamu mau ikut?” tanyaku. “Nanti aku akan menyusul ke kapal Kapten Andres, tujuan kalian,” bisik Li. “Baiklah!” Aku dan Natasha segera melompat ke dalam kapal kecil tersebut. “Sampai ketemu lagi, Arnold! Terimakasih banyak atas pertolonganmu!” pamit Natasha. Li melambaikan tangan kepada kami. Aku mulai mengayuh kapal dengan dayungnya yang besar.
“Kita kembali ke kapal Kapten Andres lagi!” seruku girang. “Tunggu dulu, Rose. Sekarang pukul berapa?” Natasha mengganggu kesenanganku. “Kurasa sekarang sudah sekitar jam 7,” ujarku sambil melihat jam tangan. “Berarti lautnya pasang! Rose, kau harus berhati-hati! Nanti kita diterjang ombak!” saran Natasha. “Nat, kamu kan juga ikut mendayung! Kamu juga harus hati-hati!” tukasku. “Baiklah,” Aku dan Natasha mulai mendayung kapal dengan semangat.
Jdeeeer! “Wah, mau hujan! Pasti bakal ada badai, nih!” kataku panik. “Masa’ kita balik lagi? Kita sudah ½ perjalanan, nih!” elak Natasha. “Kamu mau mati?” tanyaku dengan nada tinggi. “Tidak, tapi kita sudah mau sampai!” tukasnya. “Jadi gimana, dong?” tanyaku lagi. “Yaaah, mendingan kamu berhenti mendayung, biarkan aku yang mendayungnya. Gimana?” usul Natasha. “Ide bagus!” Aku berhenti mendayung, dan Natasha yang mengambil alih dayungku tadi.
Aku duduk diam di belakang Natasha. Aku memandangi laut biru yang dalam dan langit hitam bergemuruh. Zraaaash! Hujan turun. “Rose, apa kamu tak menutup kepalamu dengan tangan? Nanti kamu masuk angin,” kata Natasha. “Kalau kamu, Nat?” balasku. “Aku sih, tak apa-apa, tapi kan kamu orangnya sensitif, jadi lebih baik jangan kena hujan,” ujar Natasha. Ah, Natasha baik sekali. Aku segera menutup kepalaku dengan koran.
“Di sini dingin banget, ya? Udah gitu gelap, lagi,” komentar Natasha. Aku mengangguk setuju. “Lebih dingin daripada di kamarmu, Nat,” candaku. Kami tertawa. “Memang. Ibuku bilang, kamarku harus dingin, agar tidurku nyenyak. Tapi, nanti bibirku pecah-pecah!” jelas Natasha. “Harusnya kamu matikan saja AC di kamarmu kalau sudah terlalu dingin,” saranku. “Baiklah.” Natasha terus mendayung.
“Eh, kayaknya ada cahaya, deh,” ucapku. “Iya! Ada cahaya! Dan cahayanya semakin mendekat!” tambah Natasha. BRAK! Kami menabrak cahaya itu. “Cahayanya berasal dari sebuah kapal!” seruku. Kami melihat siapa pengemudi kapal itu.
Ternyata, pengemudinya adalah seseorang bertopi fedora, berjas putih dengan strip hitam di lengan kirinya, celana hitam, dan sepatu hitam. “Maikel Jeksen!” seru Natasha. Maikel Jeksen melambaikan tangan. “Ayo naik lewat tali ini!” Ia melemparkan tali ke arahku dan Natasha. Kami memanjat tali tersebut.
“Kalian kok bisa sampai ke sini?” tanya Maikel Jeksen. “ Kami tersedot sebuah vortex, sampai di kapal Kapten Andres, diculik oleh anaknya yang bernama Arnold, dan kabur dengan kapal kecil itu,” jawabku. “Arnold? Seperti apa orangnya?” tanya Maikel Jeksen lagi. “Orangnya jahat. Pirang dan mata biru. Mirip si MacBook,” kataku lagi. “Wah, ternyata dia bereinkarnasi!” ujar Maikel. “Sudah kuduga. Untung saja sudah kupasang Li untuk memata-matainya.”
“Li? Li adalah rekanmu?” Natasha terkejut. “Tadi ia menolong Rose yang dikurung Tuan Nol!” Maikel mengangguk. “Aku memang menyuruhnya untuk membebaskan Rose,” katanya sambil menyeruput jus lemonnya. “Ngomong-ngomong, bereinkarnasi itu apaan, sih? Tadi aku melihat buku itu di buku yang dipegang Natasha,” tanyaku. “Yah…bukunya tertinggal di kapal,” desah Natasha. “Tenang saja, kapal kalian tadi masih ada, kok. Lagipula, bukunya masih di tanganmu, Natasha,” hibur Maikel sambil menunjuk buku di tangan Natasha.
“Buku itu ada di tanganku? Ya ampun!” Natasha menepuk dahinya. Aku dan Maikel tertawa. “Dasar pikun!” ejekku. “Tapi apa dulu itu reinkarnasi? Tadi kan aku sudah tanya!” Maikel ikut-ikutan menepuk dahinya. “Aku juga lupa.” Kami bertiga tertawa.
“Reinkarnasi itu, Rose, orang yang sudah mati terlahir kembali menjadi orang lain! Mengerti kan, maksudku?” akhirnya Natasha menjelaskan. Aku mengangguk mengerti. “Apakah kalian sudah makan malam?” tanya Maikel mengalihkan topik. “Belum,” jawabku dan Natasha serempak. “Ayo makan dan tidur di sini! Hari ini Theo memasak makaroni panggang,” ajak Maikel. “Baiklah,” Aku dan Natasha mengikuti Maikel menuju ruang makan.


“Terimakasih atas hidangannya, Maikel!” kataku. “Makasih!” tambah Natasha. “Sama-sama,” jawab Maikel. “Tapi sebenarnya, kalian mau ke mana, sih? Kan seram, pergi malam-malam!” Aku menjawab, “Kami akan ke kapal Kapten Andres dan menemui Li yang menyusul. Tapi kami menabrak kapalmu, dan terjadilah ini.”
“Oh, begitu. Besok pagi, aku akan mengantar kalian ke sana,” kata Maikel sambil mengerdipkan mata. “Terimakasih sekali, Maikel!” seruku. “Di manakah kamar kami, ngomong-ngomong?” tanya Natasha. “Di ujung sana. Kalian boleh bangun kapan saja, tapi jangan jam 11.” Jawab Maikel. “Ya sudah kalau begitu. Kami ke kamar dulu, ya!” kami meninggalkan Maikel dan berjalan ke kamar yang sudah disediakan Maikel. Selamat malam, semuanya!
Apa yang akan terjadi besok? Bagaimana nasib Li? Apakah Maikel Jeksen masih mempunyai hubungan darah dengannya?
Bagian selanjutnya adalah jawabannya!

No comments:

Post a Comment